Mengutip kalimat Sam Parham dalam videonya “Poetry in Motion”, saya diingatkan bahwa betapa hidup dibentangkan untuk kita seperti karpet merah sebagai sebuah penghormatan atas segala pilihan yang kita tetapkan. Ini yang kemudian menjadi motivasi besar untuk saya kembali membenahi dan menata kesiapan diri atas kesempatan-kesempatan besar yang mungkin akan muncul, penghormatan gelar karpet merah atas waktu dan karya terbaik kita.
Begitu banyak kesempatan dan hal terbaik dalam hidup saya yang kemudian teringatkan kembali: Tuhan, Kepercayaan, keluarga, sahabat, teman, pekerjaan, hobby, bahkan masalah dan kesulitan-kesulitan yang pernah dilewati pun baik yang besar dan yang kecil, kemudian menjadi hal terbaik dalam hidup saya sekarang. Itulah karpet merah yang kemudian terbentang setelah tuntas sekuen demi sekuen dalam kehidupan, suka duka, tangis tawa, sedih gembira…dan semuanya bermuara pada sebuah pencapaian diri yang hanya diri kita sendiri yang mampu memaknai dan menerjemahkannya sebagai sebuah bentuk karya terbaik dalam kehidupan.
Mengenal Parkour adalah salah satu kesempatan terbesar saya berikutnya yang kemudian semakin menguatkan kesadaran saya atas ikatan pada hal-hal terbaik dalam hidup. Seperti banyak pengalaman lain yang mengajarkan banyak hal pula dalam hidup saya. Banyak usaha yang dicoba, bermacam langkah untuk bermacam tujuan, banyak pula bermacam kegagalan, bermacam pengulangan, dan banyak juga keberhasilan yang memberikan rasa bangga yang individual dan mungkin tidak dapat dirasakan oleh orang lain.
Lima tahun bekerja sebagai seorang pendidik di sebuah Boarding School dan pengalaman bekerja sebagai instruktur untuk kegiatan outdoor training, mengajarkan saya untuk terus berkembang dan mengembangkan keterampilan pribadi secara soft skill, hard skill dan satu lagi keterampilan yang hanya dapat diperoleh dari jam terbang dan percepatan refleksi untuk berbagai macam situasi dan kondisi yang menuntut berpikir dan bertindak kritis, yaitu “metaskill”.
Sebagai agen perubahan, menyitir kalimat Mahatma Gandi,” you must be the changes you wish to see in the world…”, saya banyak merenungi kalimat tersebut dalam-dalam. Jika ingin memberi perubahan yang berarti pada dunia, bukan hanya dengan kata-kata dan kritik pedas pada dunia dengan cacian kekesalan pada sesuatu yang tidak tepat. Karena kemudian semuanya akan berpulang pada diri kita sendiri. Sejauh manakah kontribusi kita pada perubahan dunia?
Mulailah saya melakukan metamorfosis saya sendiri dengan merancang dan menata ulang semua mindsetting saya, ke arah yang lebih baik dan positif tentunya. Contoh kecil, saya memulai membuang sampah secara terpisah dan manjadikan saku celana saya sebagai tempat sampah sementara sejak duduk di bangku kuliah, minimal sekarang istri saya sudah mengikutinya, malah dia yang jadi cerewet soal urusan sampah, memulai merencakan segala sesuatu dengan diagram dan mapping (saya termasuk orang yang impulsif sehingga kadang-kadang cara berpikir saya random dan kurang sistematis, senior saya yang merupakan instruktur ahli di outdoor training selalu mengingatkan tentang hal tersebut).
Sebelum ini saya tak pernah benar-benar punya target dalam hidup… salah kaprah menerapkan istilah “mengalir seperti air”. Sampai kemudian saya diingatkan oleh prinsip konyol yang dicetuskan seorang teman yang kebetulan pernah menjadi murid saya di SMA tempat saya mengajar, “hidup itu mending mengalir sepertii e’e’ (maaf:tinja)”. Karena tinja yang mengalir yang mengikuti aliran air tidak akan hancur. Saya sempat terbahak mendengarnya. Tapi kemudian terhenyak, jika kemudian kesalahkaprahan saya menerjemahkan istilah “mengalir seperti air” dengan tidak punya target dalam hidup telah membuat saya terbelakang dan terbutakan dengan cara pikir yang santai dan cenderung mandeg. Karena kemudian air tidak pernah benar-benar mandeg ketika ia menemukan hambatan di depannya. Ia selalu mencari celah lain atau merembes hanya untuk meneruskan targetannya kembali ke bumi dan mengalir ke sungai terus…terus… dan terusss…ke muara.. ke laut.
Kemudian salah seorang murid saya mengenalkan saya pada ‘parkour’ lebih dalam pada tahun 2007 awal. Sebelumnya saya hanya tahu film yamakasi dan film itu pula yang pernah menginspirasi saya melakukan banyak kekonyolan,bersama beberapa alumni yang sudah lulus pernah berlatih bersama tanpa tahu apa itu namanya (2006) . Tugas makalah yang saya berikan padanya kemudian menguatkan ketertarikan saya pada disiplin ini. Mulailah saya meluncur ke dunia maya yang menjadi referensi makalah tersebut. Menenggelamkan saya pada rentetan artikel dan ratusan video-video spektakuler dari para praktisi profesional. Saya masih ingat tanggalnya ketika saya mencoba melakukan rangkaian gerakan tersebut pada beberapa spot terbatas, percobaan yang membuat saya merasa sangat-sangat greenhorn.Berbekal pengalaman serta disiplin olahraga yang dulu dilakukan saja tidak cukup karena ternyata ini berbeda, satu perkataan David Belle yang selalu terngiang sampai sekarang, “Kita melakukan lompatan sejauh itu tidak seperti atlit gymnastik yang hanya mengandalkan ototnya, tapi kita melompat menggunakan pikiran”.
Ternyata semuanya tidak instant, kita bukan manusia copycat seperti di film seri heroes yang hanya dengan melihat semua video itu kemudian langsung hebat. Dan saya kembali ke internet, menemukan makin banyak referensi dan kemudian menyadari kekonyolan-kekonyolan tersebut.
Kembali pada kuadrant kedua perkembangan manusia bahwa saya kemudian sadar ternyata saya tidak tahu apa-apa. Saya mulai belajar memberikan target pada tubuh saya, yang saya rasakan kemudian sangat nyambung dengan pernyataan David Belle di atas, saya juga mulai memberi target pada pikiran saya. Kadang-kadan saya latihan sendiri dan mencoba mengalahkan semua rasa malas, sering di tengah latihan pikiran saya berkata,” cukup jangan terlalu keras…buat kamu sudah oke,kamu tak perlu seperti latihan traceur pro..” tapi saya tahu bahwa tubuh saya masih mampu. Sering juga frustasi ketika mencoba beberpa teknik yang kelihatannya gampang dan bisa dilkukan ketika latihan dengan media yang biasa, ketika dicoba pada media yang lain ternyata gagal total. Pada saat itulah kemudian pengalaman-pengalaman lama muncul dan memberikan semacam kekuatan yang inspiratif. Bahwa inilah metamorfosis saya. Sebuah media pembelajaran tentang kehidupan dalam format yang lain.
Memulai latihan yang monoton, mendulang repetisi, set, variasi dan jenis pengayaan yang sifatnya pengulangan terus menerus mungkin akan menjadi sebuah dikotomi bagi orang2 yang punya banyak kesibukan dan pekerjaan yang pada akhirnya menjadi alasan untuk melepaskan diri dan tidak melakukan hal tersebut. Tapi itulah obstacle yang sesungguhnya, hambatan-hambatan waktu, kesempatan, pekerjaan, waktu luang dan sebagainya pada dasarnya saya rasakan sebagai obstacle yang muncul dalam pikir untuk kita lewati, saya menemukan bahwa selalu ada waktu untuk melakukannya jika kita mau dan meluangkannya.
Hal ini kemudian memberikan sebuah pemahaman tentang mentalitas yang aplikatif dalam bentuk yang lain, kembali pada bahwa hidup dibentangkan bagi kita seperti karpet merah atas segala pilihan dan hal-hal terbaik yang bisa kita raih. Tidak ada istilah waktu yang terlalu singkat, ruang yang terlalu sempit, menikmati hidup adalah hak yang selayaknya kita raih dalam perjalanan yang pendek ini.saya menemukan betapa pentingnya memanfaatkan waktu berharga tersebut untuk diisi dengan hal-hal yang memberikan pengayaan secara fisik,pikir dan jiwa. Tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga teman, sahabat, istri, anak, keluarga serta orang-orang tercinta.
Mengalirlah, terus… menuju muara.. ke samudera. “Keep flow…keep fluid…”
“pour e’tre durer”
Sukabumi, 31 Desember 2009
Alex Atmadikara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar